Rabu, 14 November 2012

Tuhan? Bisakah aku lebih dulu??


Tapat sembilan hari lagi adalah hari Jumat 23 November. Dan itu adalah tanggal yang sangat-sangat aku takutkan. Ya. Tepat 5 tahun yang lalu ayahku meninggal pada hari Jumat 23 November 2007 saat waktu shalat Jumat. Aku takut kejadian itu terlulang kembali pada seseorang yang aku sayangi.

Malam ini aku menangis. Aku termenung.
Aku ingat saat hari kepergian ayahku aku sedang bertengkar dengannya, aku marah karna ayahku tidak biasanya berbicara kasar padaku saat aku sulit dibangunkan untuk pergi sekolah. Diperjalanan menuju kantor ayahku, sekolahku dan adikku, kami tak saling berbicara seperti biasanya, bahkan saat ia turun dari mobil untuk masuk ke kantornya aku tidak cium tangannya seperti biasa. Aku benar-benar tidak menatap wajahnya.

Sesampainya disekolahpun aku tak mau memikirkan dia aku ingin melupakannya sesaat dengan bercanda bersama teman-temanku, siang saat aku berada di kantin waktu istirahat shalat jumat aku sedang tertawa super keras karna pembicaraan yang cukup seru dan tiba-tiba aku ingin ke toilet namun sebelumnya aku mengambil handphoneku yang dititipkan dilaci meja guru (selama proses belajar mengajar di SMPku dulu tidak diperbolehkan menggunakan handphone makanya disimpan disana sampai pulang sekolah) , aku agak bingung mengapa banyak sekali missed call dari ibuku. Namun aku tidak menghiraukannya dan langsung menuju toilet.

Sesampainya aku di toilet aku melihat nomor ibuku menelepon lagi, lalu aku angkat dan aku dengar ibuku berbicara sambil terisak dan berkata “papa pergi...” aku tak sadar. Aku bertanya dengan nada biasa “pergi kemana ma?” , lalu ibuku mengulang kalimatnya dengan tangisan yang sedikit lebih kuat . aku menangkap apa yang dimaksud ibuku. aku pun spontan melepaskan genggaman handphone itu tanpa mematikannya terlebih dahulu dan langsung berteriak histeris saat itu juga, teman-temanku dan beberapa guru menghampiriku di toilet dan bertanya “icha kenapa??” aku tak sanggup menjawabnya aku hanya terus menangis dan berteriak “Papaaaa!!!!” mereka bingung karena aku hanya mengucapkan kata-kata itu berulang kali dan bertanya “Iya, papa kenapa?” tetap aku tak kuasa menjawabnya dan terus berteriak. Hingga salah satu dari mereka yaitu guruku mengambil handphoneku dan menelepon ibuku dan bertanya “Assalamu’alaikum ibu, ini icha nangis-nangis teriak papa, ada apa ibu dengan papanya?” dan ternyata yang menjawab adalah tanteku yang entah bagaimana ia menjawabnya ditelepon sana, aku hanya mendengar suara guruku berkata “Innalilahiwaina’ilaihiraajiuun” spontan semua yang berada disekelilingku saat itu terkejut dan langsung berusaha menenangkanku sambil berkata “ sabar chaa” namun aku terus berteriak.
 
Sampai aku dan adikku dijemput oleh sepupuku dan seorang guru beserta beberapa orang temanku ikut menuju rumahku, barulah aku berhenti berteriak namun tidak berhenti menangis. Mendekati gerbang perumahanku aku melihat bendera kuning dipagar tersebut, setelah lebih maju lagi aku melihat kerumunan orang, mobil, ambulance serta beberapa karangan bunga didepan rumahku. Air mataku mengalir deras kembali dan aku merasakan beberapa temanku menggenggam pundakku. Sesampainnya aku didepan rumah aku langsung membuka paksa pintu mobil tersebut tanpa perduli mobil itu sudah berhenti apa belum. Aku berlari liar dan menghantam apapun dan siapapun yang menghalangiku dan langsung menghampiri jasad ayahku yang sudah tertidur di tengah ruangan. 

Aku membuka kain penutup mukanya dan meletakan tanganku dimulutku dan semakin menangis kencang, aku terkejut dan berharap semua itu hanyalah mimpi. Wajahnya pucat, bibirnya membiru, namun badannya belum dingin, ia masih hangat aku dapat merasakannya ketika aku memegang tangannya yang tertutup kain batik. Aku hendak mencium dan memeluknya namun aku ditarik dengan cepat oleh beberapa orang dan berkata “indah, kalo mau cium papa jangan gak boleh nangis dulu..” aku tidak mengerti dan bertanya mengapa demikian, dan ada yang menjawab “papa gak boleh kena air mata, kasian dia nanti sedih, jadi kalau mau peluk dan cium papa jangan nangis dulu ya” akupun mengangguk dan berusaha mati-matian menahan tangis, aku duduk disampingnya, menatapnya lekat-lekat. Aku masih tidak percaya apa yang berada didepan mataku, teringat aku pagi ini tak ada kesan menyenangkan di hari terakhirnya. Aku sedih aku belum meminta maaf. Dan semua sudah terlambat. Kemudian fikiranku kosong dan aku mulai berhanti menangis, dan aku bertanya apakah aku sudah boleh mencium dan memeluknya setelah diperbolehkan akupun langsung bergerak maju dari tempatku duduk dan memeluk serta mencium kening ayahku, hal yang belum pernah aku lakukan semasa dia hidup, aku hanya pernah merangkul tangannya dan menarik-narik tangannya, belum pernah aku memeluknya bahkan menciumnya, mungkin pernah saat aku masih balita, namun aku belum menyadarinya saat usia tersebut.

Saat aku mencium keningnya dadaku terasa sakit, aku teringat aku sering membuatnya kesal dan belum pernah aku membuatnya benar-benar bangga. Bahkan pagi itupun aku tak membuat dia senang. Dan aku buru-buru menjauhkan mukaku dari ayahku karena aku tau air mataku akan kembali mengalir deras. Setelah itu aku duduk kembali dan menutupi wajahku dengan lutut kakiku yang ditekuk dan tangan yang mengumpat diantara paha dan badanku. Aku menangis. 

Setelah dimandikan ayahku langsung dishalatkan dan dibawa ke tempat pemakaman sebelum terlanjur sore, aku tak kuasa melihat ayahku dimasukkan ke liang kubur, namun aku tidak mau memalingkan wajahku dari sana karena itu adalah saat terakhir aku dapat melihat ayahku. Aku memaksakannya dan mengumpulkan keberanian, beberapa saat setelah ayahku sampai didasar tempat tinggalnya ibuku pingsan dan orang-orang disekitarnya langsung mengangkut dia ke mobil sedangkan aku langsung ditarik menjauhi lokasi ayahku karena mereka takut terjadi hal yang seruapa akupun kembali menangis saat beberapa orang menghampiriku dan berkata “yang tabah ya sayang” setelah selesai acara pemakaman aku dan keluargaku kembali ke rumah.

Aku menanyakan bagaimana kejadian kepergian ayahku siang itu, aku lupa siapa yang menjawab tapi aku ingat jelas jawabannya “saat itu dikantornya akan segera melangsungkan shalat Jumat, sambil menunggu shalat dimulai bapak ambil wudhu dan membaca al-qur’an di dekat tangga tempat ia akan shalat bersama rekan-rekan kerjanya, setelah ia mendengar komat iapun segera menutup al-qur’annya dan menaiki anak tangga tersebut, namun tiba-tiba ia pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat oleh orang-orang kantornya, kami berhasil menelepon mama, dan mencoba menghubungi kamu disekolah tapi gak diangkat-angkat dan setelah bapak dinyatakan meninggal oleh dokter di rumah sakit tersebut langsung kami membawanya pulang.”

Aku kembali menangis. Setelah kejadian itu aku mengalami trauma berat. Aku jadi seperti orang tak punya warna kehidupan. Yang ada dipikiranku hanya ayahku, tatapanku selalu kosong, dan aku sama sekali tidak merespon pertanyaan orang-orang disekitarku, kecuali pertanyaan tersebut memiliki jawaban ya atau tidak dan aku hanya menjawabnya melalui anggukan dan gelengan kepala. Tidak dengan mulut. Dan tidak pernah menatap ke arah mereka, aku hanya menatap kesatu arah namun tidak tau memfokuskan ke arah mana, dan dalam diamku itu air mataku tetap mengalir setiap beberapa saat, aku tidak mau makan, aku tidur dipangkuan nenekku malam itu aku menghadap kearah pintu yang terbuka lebar menatap langit hitam berbintang. Dan berharap ayahku muncul kembali didepan pintu itu namun aku tau itu tak akan terjadi. Air mataku kembali mengalir namun aku memejamkan mata dan menangis dalam tidurku.

Keesokan paginya aku terbangun dan sudah di tempat tidur, aku melihat kiri kananku banyak keluargaku dan saat keluar kamar banyak juga keluargaku yang lain, ketika aku hampir membuka mulut untuk bertanya ada apa mereka berkumpul aku menutup kembali mulutku setelah melihat karangan bunga dan bendera kuning yang ada didepan rumahku, aku teringat ayaku sudah tiada, aku terduduk di kursi yang ada didepan pintu aku terdiam dan kali ini menatap kosong ke arah langit cerah pagi itu, terdengar suara ibuku berkata “hari ini gak usah bimbel dulu aja ya ka? Mama izinin.” Ya, waktu itu sedang menjelang UAN SMP, beberapa detik aku berfikir dan setelah melihat mata sembab ibuku aku barulah membuka mulutku “gak ma aku masuk aja” ibuku kembali meyakinkankua apakah aku benar-benar ingin masuk dengan keadaan seperti ini, aku menganggukan kepalaku lalu kembali menatap langit biru itu. 

Setelah siap-siap, aku pergi ke sekolahku untuk bimbingan belajar menjelang UAN diantar oleh pamanku. Sesampainya aku di sekolah aku berjalan keluar mobil dengan tatapan kosong tanpa menghiraukan kiri kananku, terus berjalan menuju ruang kelas bimbel. Dan langsung duduk diam tidak menegur atau bercanda dengan yang lainnya seperti biasanya. Beberapa temanku menghampiriku dan berkata sabar, dan spontan air mataku kembali mengalir. Namun aku tetap terdiam. Selama pelajaranpun aku tidak ingat apakah ada yang aku simak atau tidak. Sampai guruku bertanya apakah aku tidak apa-apa dan memperbolehkan aku untuk pulang kembali aku berkata tidak apa-apa dan melanjutkan pelajaran. Namun ternyata aku benar-benar tidak menyimak apa yang ada dikelas, saat kelas bubar aku tetap terdiam di tempat aku duduk, beberapa temanku dan orang tua temanku yang naik ke atas kembali mengucapkan duka kepadaku dan kembali air mataku mengalir mereka bilang “Allah sayang sama papa makanya disuruh pulang sekarang, mungkin itu yang terbaik jangan sedih lagi ya..” dan tangisku semakin deras. Hingga akhirnya aku dijemput kembali untuk pulang ke rumah.

Aku terus diam seperti itu entahlah 3 atau 5 hari. Dan kembali ceria seiring berjalannya waktu dan dukungan dari keluarga serta dari teman-temanku, karena akan menjelang UAN juga maka aku berusaha mengembalikan kekuatan diriku. Karna aku tidak mau tidak berhasil dalam UAN.

dan hingga sekarang aku masih seringkali deg-degan ketika melihat ambulance dan langsung mengirim pesan ke ibuku menanyakan apa yang sedang ia lakukan. dan ketakutan setiap mendekati tanggal 23 November, apalagi mengetahui tanggal 23 November kali ini juga hari Jum'at seperti kejadian 5 tahun lalu tersebut. takut . benar-benar takut.
 
Sekarang aku jadi lebih dekat dengan ibuku, menjadi sahabat. Dulu hampir tidak pernah sharing, sekarang kami jadi sering sharing, apapun yang biasanya kita ceritakan ke teman-teman kita kini aku ceritakan terlebih dahulu kepada ibuku. aku sering memeluknya dalam setiap kesempatan. Setiap memeluknya aku selalu teringat ayahku. 

Malam ini aku merenung, aku menatap lekat-lekat foto aku, ibuku , dan adikku.
apakah aku sudah sedikit membahagiakan ibuku? 
Ataukah aku masih terlalu membebaninya? 
Apakah aku masih membuatnya menangis? 
Apakah aku masih sempat membahagiakan ibuku sebelum waktu salah satu dari kami habis? 
Apakah ... aku? 
Atau ibuku yang lebih dulu kembali ke “RUMAH” ? 
bagaimana jika ibuku lebih dulu??
Bagaimana jika adikku lebih dulu?
begitu banyak pertanyaan dikepalaku.

Entahlah aku akan merasa sangat kosong tanpa mereka berdua terutama ibuku. kini aku jauh ratusan kilometer darinya. Aku sedikit menyesal karna kuliah di Bandung, dan itu tandanya aku tidak dapat bertemu ibuku setiap hari seperti dulu. Kadang aku berfikir apakah ibuku baik-baik saja? Dan kadang aku panik ketika ibuku lama menjawab pesan singkatku. Dan bernafas lega setelah ia menjawabnya dan ia sedang apa. 

Aku tak tau apa yang akan aku lakukan bila hal itu tidak dapat aku lakukan lagi. Entah apa yang akan terjadi. 
Aku menangis. 
Aku ingin membahagiakan dan membuat ibuku bangga sebelum salah satu dari kami pergi. Kadang aku juga berfikir bisakah aku pergi lebih dulu dibanding ibu dan adikku? Aku takut dengan perasaan kehilangan seperti saat perginya ayahku. Aku sungguh tak ingin merasakan kehilangan seperti itu lagi. Aku teramat sangat menyayangi mereka.
Tuhan... Bisakah aku lebih dulu??

0 komentar:

Posting Komentar

feel free to leave comment :)