Tapat sembilan hari lagi adalah hari Jumat 23 November. Dan itu
adalah tanggal yang sangat-sangat aku takutkan. Ya. Tepat 5 tahun yang lalu
ayahku meninggal pada hari Jumat 23 November 2007 saat waktu shalat Jumat. Aku takut
kejadian itu terlulang kembali pada seseorang yang aku sayangi.
Malam ini aku menangis. Aku termenung.
Aku ingat saat hari
kepergian ayahku aku sedang bertengkar dengannya, aku marah karna ayahku tidak
biasanya berbicara kasar padaku saat aku sulit dibangunkan untuk pergi sekolah.
Diperjalanan menuju kantor ayahku, sekolahku dan adikku, kami tak saling
berbicara seperti biasanya, bahkan saat ia turun dari mobil untuk masuk ke
kantornya aku tidak cium tangannya seperti biasa. Aku benar-benar tidak menatap
wajahnya.
Sesampainya disekolahpun aku tak mau memikirkan dia aku ingin
melupakannya sesaat dengan bercanda bersama teman-temanku, siang saat aku
berada di kantin waktu istirahat shalat jumat aku sedang tertawa super keras karna
pembicaraan yang cukup seru dan tiba-tiba aku ingin ke toilet namun sebelumnya
aku mengambil handphoneku yang dititipkan dilaci meja guru (selama proses
belajar mengajar di SMPku dulu tidak diperbolehkan menggunakan handphone
makanya disimpan disana sampai pulang sekolah) , aku agak bingung mengapa
banyak sekali missed call dari ibuku. Namun aku tidak menghiraukannya dan
langsung menuju toilet.
Sesampainya aku di toilet aku melihat nomor ibuku
menelepon lagi, lalu aku angkat dan aku dengar ibuku berbicara sambil terisak
dan berkata “papa pergi...” aku tak sadar. Aku bertanya dengan nada biasa “pergi
kemana ma?” , lalu ibuku mengulang kalimatnya dengan tangisan yang sedikit
lebih kuat . aku menangkap apa yang dimaksud ibuku. aku pun spontan melepaskan genggaman
handphone itu tanpa mematikannya terlebih dahulu dan langsung berteriak
histeris saat itu juga, teman-temanku dan beberapa guru menghampiriku di toilet
dan bertanya “icha kenapa??” aku tak sanggup menjawabnya aku hanya terus
menangis dan berteriak “Papaaaa!!!!” mereka bingung karena aku hanya
mengucapkan kata-kata itu berulang kali dan bertanya “Iya, papa kenapa?” tetap
aku tak kuasa menjawabnya dan terus berteriak. Hingga salah satu dari mereka yaitu
guruku mengambil handphoneku dan menelepon ibuku dan bertanya “Assalamu’alaikum
ibu, ini icha nangis-nangis teriak papa, ada apa ibu dengan papanya?” dan
ternyata yang menjawab adalah tanteku yang entah bagaimana ia menjawabnya
ditelepon sana, aku hanya mendengar suara guruku berkata “Innalilahiwaina’ilaihiraajiuun”
spontan semua yang berada disekelilingku saat itu terkejut dan langsung
berusaha menenangkanku sambil berkata “ sabar chaa” namun aku terus berteriak.
Sampai aku dan adikku dijemput oleh sepupuku dan seorang
guru beserta beberapa orang temanku ikut menuju rumahku, barulah aku berhenti berteriak
namun tidak berhenti menangis. Mendekati gerbang perumahanku aku melihat
bendera kuning dipagar tersebut, setelah lebih maju lagi aku melihat kerumunan
orang, mobil, ambulance serta beberapa karangan bunga didepan rumahku. Air mataku
mengalir deras kembali dan aku merasakan beberapa temanku menggenggam pundakku.
Sesampainnya aku didepan rumah aku langsung membuka paksa pintu mobil tersebut
tanpa perduli mobil itu sudah berhenti apa belum. Aku berlari liar dan
menghantam apapun dan siapapun yang menghalangiku dan langsung menghampiri
jasad ayahku yang sudah tertidur di tengah ruangan.
Aku membuka kain penutup
mukanya dan meletakan tanganku dimulutku dan semakin menangis kencang, aku
terkejut dan berharap semua itu hanyalah mimpi. Wajahnya pucat, bibirnya
membiru, namun badannya belum dingin, ia masih hangat aku dapat merasakannya
ketika aku memegang tangannya yang tertutup kain batik. Aku hendak mencium dan
memeluknya namun aku ditarik dengan cepat oleh beberapa orang dan berkata “indah,
kalo mau cium papa jangan gak boleh nangis dulu..” aku tidak mengerti dan
bertanya mengapa demikian, dan ada yang menjawab “papa gak boleh kena air mata,
kasian dia nanti sedih, jadi kalau mau peluk dan cium papa jangan nangis dulu
ya” akupun mengangguk dan berusaha mati-matian menahan tangis, aku duduk
disampingnya, menatapnya lekat-lekat. Aku masih tidak percaya apa yang berada
didepan mataku, teringat aku pagi ini tak ada kesan menyenangkan di hari
terakhirnya. Aku sedih aku belum meminta maaf. Dan semua sudah terlambat. Kemudian
fikiranku kosong dan aku mulai berhanti menangis, dan aku bertanya apakah aku
sudah boleh mencium dan memeluknya setelah diperbolehkan akupun langsung
bergerak maju dari tempatku duduk dan memeluk serta mencium kening ayahku, hal
yang belum pernah aku lakukan semasa dia hidup, aku hanya pernah merangkul
tangannya dan menarik-narik tangannya, belum pernah aku memeluknya bahkan
menciumnya, mungkin pernah saat aku masih balita, namun aku belum menyadarinya
saat usia tersebut.
Saat aku mencium keningnya dadaku terasa sakit, aku teringat
aku sering membuatnya kesal dan belum pernah aku membuatnya benar-benar bangga.
Bahkan pagi itupun aku tak membuat dia senang. Dan aku buru-buru menjauhkan
mukaku dari ayahku karena aku tau air mataku akan kembali mengalir deras. Setelah
itu aku duduk kembali dan menutupi wajahku dengan lutut kakiku yang ditekuk dan
tangan yang mengumpat diantara paha dan badanku. Aku menangis.
Setelah dimandikan ayahku langsung dishalatkan dan dibawa ke
tempat pemakaman sebelum terlanjur sore, aku tak kuasa melihat ayahku
dimasukkan ke liang kubur, namun aku tidak mau memalingkan wajahku dari sana
karena itu adalah saat terakhir aku dapat melihat ayahku. Aku memaksakannya dan
mengumpulkan keberanian, beberapa saat setelah ayahku sampai didasar tempat
tinggalnya ibuku pingsan dan orang-orang disekitarnya langsung mengangkut dia
ke mobil sedangkan aku langsung ditarik menjauhi lokasi ayahku karena mereka
takut terjadi hal yang seruapa akupun kembali menangis saat beberapa orang
menghampiriku dan berkata “yang tabah ya sayang” setelah selesai acara
pemakaman aku dan keluargaku kembali ke rumah.
Aku menanyakan bagaimana kejadian kepergian ayahku siang
itu, aku lupa siapa yang menjawab tapi aku ingat jelas jawabannya “saat itu
dikantornya akan segera melangsungkan shalat Jumat, sambil menunggu shalat
dimulai bapak ambil wudhu dan membaca al-qur’an di dekat tangga tempat ia akan
shalat bersama rekan-rekan kerjanya, setelah ia mendengar komat iapun segera
menutup al-qur’annya dan menaiki anak tangga tersebut, namun tiba-tiba ia
pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat oleh orang-orang kantornya,
kami berhasil menelepon mama, dan mencoba menghubungi kamu disekolah tapi gak
diangkat-angkat dan setelah bapak dinyatakan meninggal oleh dokter di rumah
sakit tersebut langsung kami membawanya pulang.”
Aku kembali menangis. Setelah kejadian itu aku mengalami
trauma berat. Aku jadi seperti orang tak punya warna kehidupan. Yang ada
dipikiranku hanya ayahku, tatapanku selalu kosong, dan aku sama sekali tidak
merespon pertanyaan orang-orang disekitarku, kecuali pertanyaan tersebut
memiliki jawaban ya atau tidak dan aku hanya menjawabnya melalui anggukan dan
gelengan kepala. Tidak dengan mulut. Dan tidak pernah menatap ke arah mereka,
aku hanya menatap kesatu arah namun tidak tau memfokuskan ke arah mana, dan
dalam diamku itu air mataku tetap mengalir setiap beberapa saat, aku tidak mau
makan, aku tidur dipangkuan nenekku malam itu aku menghadap kearah pintu yang
terbuka lebar menatap langit hitam berbintang. Dan berharap ayahku muncul
kembali didepan pintu itu namun aku tau itu tak akan terjadi. Air mataku
kembali mengalir namun aku memejamkan mata dan menangis dalam tidurku.
Keesokan paginya aku terbangun dan sudah di tempat tidur,
aku melihat kiri kananku banyak keluargaku dan saat keluar kamar banyak juga
keluargaku yang lain, ketika aku hampir membuka mulut untuk bertanya ada apa
mereka berkumpul aku menutup kembali mulutku setelah melihat karangan bunga dan
bendera kuning yang ada didepan rumahku, aku teringat ayaku sudah tiada, aku
terduduk di kursi yang ada didepan pintu aku terdiam dan kali ini menatap
kosong ke arah langit cerah pagi itu, terdengar suara ibuku berkata “hari ini
gak usah bimbel dulu aja ya ka? Mama izinin.” Ya, waktu itu sedang menjelang
UAN SMP, beberapa detik aku berfikir dan setelah melihat mata sembab ibuku aku
barulah membuka mulutku “gak ma aku masuk aja” ibuku kembali meyakinkankua
apakah aku benar-benar ingin masuk dengan keadaan seperti ini, aku menganggukan
kepalaku lalu kembali menatap langit biru itu.
Setelah siap-siap, aku pergi ke sekolahku untuk bimbingan
belajar menjelang UAN diantar oleh pamanku. Sesampainya aku di sekolah aku
berjalan keluar mobil dengan tatapan kosong tanpa menghiraukan kiri kananku,
terus berjalan menuju ruang kelas bimbel. Dan langsung duduk diam tidak menegur
atau bercanda dengan yang lainnya seperti biasanya. Beberapa temanku
menghampiriku dan berkata sabar, dan spontan air mataku kembali mengalir. Namun
aku tetap terdiam. Selama pelajaranpun aku tidak ingat apakah ada yang aku
simak atau tidak. Sampai guruku bertanya apakah aku tidak apa-apa dan
memperbolehkan aku untuk pulang kembali aku berkata tidak apa-apa dan
melanjutkan pelajaran. Namun ternyata aku benar-benar tidak menyimak apa yang
ada dikelas, saat kelas bubar aku tetap terdiam di tempat aku duduk, beberapa
temanku dan orang tua temanku yang naik ke atas kembali mengucapkan duka
kepadaku dan kembali air mataku mengalir mereka bilang “Allah sayang sama papa
makanya disuruh pulang sekarang, mungkin itu yang terbaik jangan sedih lagi
ya..” dan tangisku semakin deras. Hingga akhirnya aku dijemput kembali untuk
pulang ke rumah.
Aku terus diam seperti itu entahlah 3 atau 5 hari. Dan kembali
ceria seiring berjalannya waktu dan dukungan dari keluarga serta dari
teman-temanku, karena akan menjelang UAN juga maka aku berusaha mengembalikan
kekuatan diriku. Karna aku tidak mau tidak berhasil dalam UAN.
dan hingga sekarang aku masih seringkali deg-degan ketika melihat ambulance dan langsung mengirim pesan ke ibuku menanyakan apa yang sedang ia lakukan. dan ketakutan setiap mendekati tanggal 23 November, apalagi mengetahui tanggal 23 November kali ini juga hari Jum'at seperti kejadian 5 tahun lalu tersebut. takut . benar-benar takut.
Sekarang aku jadi lebih dekat dengan ibuku, menjadi sahabat.
Dulu hampir tidak pernah sharing, sekarang kami jadi sering sharing, apapun
yang biasanya kita ceritakan ke teman-teman kita kini aku ceritakan terlebih
dahulu kepada ibuku. aku sering memeluknya dalam setiap kesempatan. Setiap memeluknya
aku selalu teringat ayahku.
Malam ini aku merenung, aku menatap lekat-lekat foto aku, ibuku , dan adikku.
apakah aku sudah sedikit
membahagiakan ibuku?
Ataukah aku masih terlalu membebaninya?
Apakah aku masih
membuatnya menangis?
Apakah aku masih sempat membahagiakan ibuku sebelum waktu
salah satu dari kami habis?
Apakah ... aku?
Atau ibuku yang lebih dulu kembali
ke “RUMAH” ?
bagaimana jika ibuku lebih dulu??
Bagaimana jika adikku lebih dulu?
begitu banyak pertanyaan dikepalaku.
Entahlah aku akan merasa sangat kosong tanpa mereka berdua terutama ibuku. kini
aku jauh ratusan kilometer darinya. Aku sedikit menyesal karna kuliah di
Bandung, dan itu tandanya aku tidak dapat bertemu ibuku setiap hari seperti
dulu. Kadang aku berfikir apakah ibuku baik-baik saja? Dan kadang aku panik
ketika ibuku lama menjawab pesan singkatku. Dan bernafas lega setelah ia
menjawabnya dan ia sedang apa.
Aku tak tau apa yang akan aku lakukan bila hal
itu tidak dapat aku lakukan lagi. Entah apa yang akan terjadi.
Aku menangis.
Aku
ingin membahagiakan dan membuat ibuku bangga sebelum salah satu dari kami pergi.
Kadang aku juga berfikir bisakah aku pergi lebih dulu dibanding ibu dan adikku?
Aku takut dengan perasaan kehilangan seperti saat perginya ayahku. Aku sungguh
tak ingin merasakan kehilangan seperti itu lagi. Aku teramat sangat menyayangi mereka.
Tuhan... Bisakah aku lebih dulu??
0 komentar:
Posting Komentar
feel free to leave comment :)