”Aku ingin mundur saja, aku sudah tidak kuat lagi dengan amanah yang semakin menyesakkan dadaku, aku sudah tidak kuat lagi menelan kekecewaan demi kekecewaan, kolot sekali pemikiran mereka“.
Kalimat itulah yang terlontar dari lisan salah seorang saudaraku yang biasanya terlihat tegar dan selalu mempersembahkan senyumnya setiap kali bersua denganku, tapi malam itu seolah kesedihannya telah menghapus semua lukisan senyum di wajahnya, seakan keputus asaan telah menyedot seluruh semangat dan harapannya. Untuk sejenak aku termenung, udara dingin yang sedari tadi membekap tubuh tak kurasa lagi.
Ah....masih belum begitu lama, aku pun pernah berada pada posisi yang sama layaknya yang dialami saudaraku ini, saat itu pun begitu putus pengharapanku hingga aku pun benar-benar sudah tidak kuat lagi dengan ketaatan semu dan ketidakkritisan dalam gerakan ini dan seperti dia aku pun ingin mengakhirinya dengan cara keluar dari aktivitas ini. Aku melihat masalah yang dia hadapi pun sepertinya sama denganku, kepingan–kepinngan kekecewaan dan beban yang akhirnya menjadi puzzle raksasa bergambar kata putus asa.
Kelelahan adalah sebuah efek yang wajar dari aktivitas yang berulang ulang, kontinu bahkan terkadang membosankankan. Beban adalah kenikmatan yang diberikan-Nya di sela-sela aktivitas kita karena kedatangannya membuat kita merasakan nikmatnya beristirahat, kedatangannya membuat kita memperoleh kesempatan untuk menarik nafas panjang sebelum kita kembali berlaga, namun adalah beban yang meraja yang akan membekap bara semangat, azam dan harapan, meredupkannya dan diam-diam memadamkannya. Oleh karenanya ketika kita bermain-main dengan beban, maka seyogyanya kita menjaga agar beban itu tidak menjadi penjara untuk perjalanan kita selanjutnya dan pada saat yang sama hendaknya kita selalu sadar akan keberadaann cawan-cawan yang berisi cairan energi yang senantiasa dihidangkan untuk kita. Sumber kekuatan yang akan membuat kita untuk tidak betah berkubang dalam lembah kefuturan, energi itu yakni keikhlasan dan indahnya ukhuwah dan jamaah.
Ketika kekecewaan dan beban bersemayam di dada maka menyadari kembali bahwa apa yang kita lakukan adalah sebuah usaha dan pengharapan besar kita untuk menggapai rahmat dan ridho Alloh SWT, akan mengembalikan kekuatan untuk bangkit. Keikhlasan adalah tidak berbesar kepala saat pujian mengguyur , begitu pun tidak berputus asa bilamana cercaan menghujam dan menghimpit, adalah keikhlasan tidak bergantung pada makhluk yang biasanya menjadi sumber kefuturan. Sebuah keikhlasan tidak mengenal kata lelah karena segala keluh kesah senantiasa dititipkan pada angin yang membumbungkan doa dalam sujud-sujud panjang kita. Dan DIA senantiasa menyediakan “telinga-Nya” untuk kita.
Saat tubuh tidak lagi tegak, saat kaki mulai lemah, saat lisan mulai keluh untuk menyuarakan kebenaran, maka pada saat yang sama ada saudara kita yang memapah, saudara yang akan menopang kaki yang telah rapuh, dan menggantikan kita untuk bersuara lebih lantang. Senyumnya bagai oase dalam kegersangan jiwa kita, perhatiannya adalah penentram kegundahan kita, tausyiahnya adalah semangat baru yang disematkan pada diri ini. Karena dialah kita yakin bahwa kita tidak sendirian.
Andaikan saja kita layaknya sekuntum bunga edelweis yang terus mekar dalam kegersangan, terus mempersembahkan senyum dalam kesederhanaan dan kebersahajaannya, semangat abadi hidupnya dalam keterhimpitan. Ya... seperti halnya edelweis, tekad untuk memberikan sesuatu bagi kemaslahatan umat adalah ruh hidup itu sendiri sehingga ketika kita ingin keluar dari aktivitas yang menjadi media untuk tumbuh dan hidupnya ruh itu maka kita telah menyiapkan prosesi HARAKIRI untuk jiwa ini.
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu, keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu". Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (QS. 9:42)
Teruntuk saudaraku dalam beban yang memderu, teguh dan bersabarlah,
karena sungguh Allah telah menyediakan tempat kembali yang indah bagi para tentara-Nya.
-Lelaki Kelas Dua
(tatkala kusadari aku bukanlah mataharinya)
sumber : http://ikhwan-kiri.blogspot.com/2009/07/sekuntum-edelweis-untukmu-aktivis.html
Jumat, 17 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
feel free to leave comment :)